Selasa, 12 Juli 2011

ADA APA DENGAN CINTA !

ADA APA DENGAN CINTA !

Cinta (al-mahabbah) dan benci (al-karâhah), merupakan fitrah emosional yang dianugerahkan Allah SWT pada seluruh manusia. Bagi seorang Muslim, cinta dan benci itu harus berdasarkan proporsionalisasi syarî’at. Karena, bisa jadi, apa yang kita cintai itu justru sesuatu yang buruk, dan sebaliknya membenci sesuatu yang sebetulnya baik buat kita (Qs.2:216). Jika tidak demikian, betapa banyak orang yang akan menjadi korban akibat tidak tahu menempatkan arti cinta dan benci ini.

Dalam Islam, cinta seseorang haruslah berlandaskan kepengikutan (ittiba’) dan ketaatan. Sebagaimana firman-Nya, "Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu"
(Qs.3:31-32).

Salah satu cinta yang diajarkan Rasulullah SAW. diantaranya adalah, mencintai dan mengasihi sesama. Kecintaan ini, sebagaimana pernah dicontohkan beliau, tak pernah dibedakan antara Muslim dan non-Muslim. Bahkan, tidak dibenarkan jika kita tidak berbuat adil kepada suatu kaum misalnya, hanya karena benci kepada mereka(Qs.5:8).

Ajaran cinta Islami yang mesti disemaikan bukanlah sebatas sesama Muslim. Tetapi justru sesama manusia dan sesama makhluk. Rasulullah SAW. bersabda, "Hakikat seorang Muslim adalah, mencintai Allah dan Rasul-nya, sesamanya, serta tetangganya, melebihi atau sebagaimana ia cinta kepada dirinya sendiri" (HR. Imâm Bukhârî).

Kecintaan yang terekspresikan akan menjadi amal saleh buat pelakunya. Maka dari itu, kecintaan maupun kebaikan, meskipun baru tersirat dalam hati dan belum terlaksana, tetap akan mendapat pahala di sisi Allah. Sebaliknya, kebencian yang tersimpan dalam lubuk hati di samping sebuah kewajaran, juga tidak dicatat sebagai keburukan, hingga niatnya itu betul-betul dilakukan
(al-Hadits).

Ekspresi sebuah kebencian tak lain sikap hasud yang dilarang Islam. Hasad adalah iri dan bersikap dengki terhadap orang atau kelompok lain, bahkan sebisa mungkin, berupaya menjatuhkan dan menghilangkan semua kepemilikan seseorang yang dianggap lawannya itu. Dari sini hasud berubah wujud menjadi hasutan, bagaimana merekayasa isu dan gosip tanpa fakta untuk turut meyakinkan orang lain, agar sama-sama membenci bahkan menganiaya orang atau kelompok tertentu.

Benci yang hasud seperti di atas dilarang Rasulullah SAW, sabdanya, "Jauhilah oleh kalian sikap hasud, karena hasud itu niscaya akan memakan amal kebaikanmu layaknya api menghanguskan kayu bakar" (HR. Abû Dâwûd).


Wajah seorang muhâsid (pelaku hasud) tak lain seorang provokator yang senang mengadu-domba antarsesama, menabur fitnah, serta wujud dari kerja sama dalam menebar dosa (al-itsm) dan permusuhan (al-‘udwân). Mereka diancam Nabi SAW. tidak akan masuk surga, karena mencoba memutuskan pertalian kasih dan sayang antarsesama manusia (HR. Bukhârî-Muslim).


Dalam konteks Islam, shilat-u ar-rahmi (shilah, menghubungkan; dan rahmi, berasal dari rahim yang sama) merupakan keharusan menyemaikan perdamaian dan keharmonisan hidup antarinsan. Inilah inti rahmat-an lil-‘âlamîn; mencintai dan membenci karena Allah akan mendatangkan rahmat, sebaliknya, jika sesuai seleranya sendiri, terancam kepedihan azab-Nya. Dalam arti, tidak turunnya rahmat dan bertaburnya benih-benih perpecahan dan perselisihan
(Bulûghu ‘l-Marâm, 2000; 496).*

Agar kecintaan tumbuh dan bersemai dalam diri setiap insan, Rasulullah mengajarkan, "Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam (kedamaian), berilah makan orang yang membutuhkan, sambungkanlah tali persaudaraan, dan shalatlah Tahajjud pada sepertiga malam (introspeksi), niscaya kamu akan masuk surga dengan damai"
(HR. Imâm Tirmidzî).

Demikian sebaik-baik kecintaan dalam Islam. Kedamaian ditebarkan untuk dan kepada siapa pun. Seorang muslim sejati ialah apabila, orang lain selamat dari ulah lisan, tangan, maupun kewenangannya (Fath-u al-Bârî I; 76-86).
Cinta adalah bagian dari fitrah, orang yang kehilangan cinta dia tidak normal tetapi banyak juga orang yang menderita karena cinta. Bersyukurlah orang-orang yang diberi cinta dan bisa menyikapi rasa cinta dengan tepat.
Hikam:
"Dijadikan indah pada pandangan manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah tempat kembali yang baik." (Al-Qur`an: Al-Imron ayat 14)
Cinta memang sudah ada didalam diri kita, diantaranya terhadap lawan jenis. Tapi kalau tidak hati-hati cinta bisa menulikan dan membutakan kita. Cinta yang paling tinggi adalah cinta karena Allah cirinya adalah orang yang tidak memaksakan kehendaknya. Tapi ada juga cinta yang menjadi cobaan buat kita yaitu cinta yang lebih cenderung kepada maksiat. Cinta yang semakin bergelora hawa nafsu, makin berkurang rasa malu. Dan, inilah yang paling berbahaya dari cinta yang tidak terkendali.Islam tidak melarang atau mengekang manusia dari rasa cinta tapi mengarahkan cinta tetap pada rel yang menjaga martabat kehormatan, baik wanita maupun laki-laki. Kalau kita jatuh cinta harus hati-hati karena seperti minum air laut semakin diminum semakin haus. Cinta yang sejati adalah cinta yang setelah akad nikah, selebihnya adalah cobaan dan fitnah saja.
Cara untuk bisa mengendalikan rasa cinta adalah jaga pandangan, jangan berkhalwat berdua-duaan, jangan dekati zina dalam bentuk apapun dan jangan saling bersentuhan. Bagi orang tua yang membolehkan anaknya berpacaran,harus siap-siap menanggung resiko. Marilah kita mengalihkan rasa cinta kita kepada Allah dengan memperbanyak sholawat, dzikir, istighfar dan sholat sehingga kita tidak diperdaya oleh nafsu, karena nafsu yang akan memperdayakan kita. Sepertinya cinta padahal nafsu belaka.












RABIAH AL ADAWIYAH
Perindu Kecintaan Allah
Rabiah binti Ismail al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang terkenal dalam sejarah Islam. Dia dilahirkan sekitar awal kurun kedua Hijrah sekitar kota Basrah di Iraq. Dia lahir dalam sebuah keluarga yang miskin dari segi kebendaan namun kaya dengan peribadatan kepada Allah. Ayahnya hanya bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan.
Pada akhir kurun pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlomba-lomba mencari kekayaan. Justeru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
Namun begitu, Allah telah memelihara sebilangan kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Pada masa itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri. Pengikutnya terdiri daripada lelaki dan wanita. Mereka menghabiskan masa dan tenaga untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan hawa nafu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai hamba yang benar-benar taat.
Ayah Rabiah merupakan hamba yang sangat bertaqwa, jauh dari kemewahan dunia dan tidak pernah letih bersyukur kepada Allah. Dia mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa bersih. Pendidikan yang diberikannya bersumberkan al-Quran semata-mata. Natijahnya Rabiah sendiri begitu gemar membaca dan menghayati isi al-Quran sehigga berjaya menghafal kandungan al-Quran. Sejak kecil lagi Rabiah sememangnya berjiwa halus, mempunyai keyakinan yang tinggi serta keimanan yang mendalam.
Menjelang kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit. Keadaan itu semakin buruk setelah beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Rabiah juga tidak terhindar dari ujian yang bertujuan membuktikan keteguhan iman. Ada riwayat yang mengatakan beliau telah terjebak dalam kancah maksiat. Namun dengan limpah hidayah Allah, dengan asas keimanan yang belum padam di hatinya, dia dipermudahkan oleh Allah untuk kembali bertaubat. Babak-babak taubat inilah yang mungkin dapat menyedar serta mendorong hati kita merasai cara yang sepatutnya seorang hamba brgantung harap kepada belas ihsan Tuhannya.

Marilah kita teliti ucapan Rabiah sewaktu kesunyian di ketenangan malam ketika bermunajat kepada Allah:
Ya Allah, ya Tuhanku. Aku berlindung diri kepada Engkau dari segala yang ada yang dapat memalingkan diri dari-Mu, dari segala pembatas yang dapat menghalangi antara aku dengan Engkau!
Tuhanku! bintang-bintang telah menjelma indah, mata telah tidur nyenyak, semua pemilik telah menutup pintunya dan inilah dudukku di hadapan-Mu.
Tuhanku! Tiada kudengar suara binatang yang mengaum, tiada desiran pohon yang bergeser, tiada desiran air yang mengalir, tiada siulan burung yang menyanyi, tiada nikmatnya teduhan yang melindungi, tiada tiupan angin yang nyaman, tiada dentuman guruh yang menakutkan melainkan aku dapati semua itu menjadi bukti keEsaan-Mu dan menunjukkan tiada sesuatu yang menyamai-Mu.
Sekelian manusia telah tidur dan semua orang telah lalai dengan asyik maksyuknya. Yang tinggal hanya Rabiah yang banyak kesalahan di hadapan-Mu. Maka moga-moga Engkau berikan suatu pandangan kepadanya yang akan menahannya daripada tidur supaya dia dapat berkhidmat kepada-Mu.
Rabiah juga pernah meraung memohon belas ihsan Allah SWT:
Tuhanku! Engkau akan mendekatkan orang yang dekat di dalam kesunyian kepada keagungan-Mu. Semua ikan di laut bertasbih di dalam lautan yang mendalam dan kerana kebesaran kesucian-Mu, ombak di laut bertepukan. Engkaulah Tuhan yang sujud kepada-Nya malam yang gelap, siang yang terang, falak yang bulat, bulan yang menerangi, bintang yang berkerdipan dan setiap sesuatu di sisi-Mu dengan takdir sebab Engkaulah Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Perkasa.
Setiap malam begitulah keadaan Rabiah. Apabila fajar menyingsing, Rabiah terus juga bermunajat dengan ungkapan seperti:
Wahai Tuhanku! Malam yang akan pergi dan siang pula akan mengganti. Wahai malangnya diri! Apakah Engkau akan menerima malamku ini supaya aku berasa bahagia ataupun Engkau akan menolaknya maka aku diberikan takziah? Demi kemuliaan-Mu, jadikanlah caraku ini kekal selama Engkau menghidupkan aku dan bantulah aku di atasnya. Demi kemuliaan-Mu, jika Engkau menghalauku daripada pintu-Mu itu, nescaya aku akan tetap tidak bergerak juga dari situ disebabkan hatiku sangat cinta kepada-Mu.
Salah satu peristiwa yang menarik tentang diri Rabiah adalah dia menolak lamaran untuk menikah dengan alasan:
Pernikahan itu memang perlu bagi siapa saja yang mempunyai pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak mempunyai apa-apa pun.
Rabiah seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah. Oleh karena itu dia terus-menerus mencintai Allah semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhoan Allah. Rabiah telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata. Dia sentiasa meletakkan kain kapannya di hadapannya dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.
Selama 30 tahun dia terus-menerus mengulangi kata-kata ini dalam sembahyangnya:
Ya Tuhanku! Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan aku daripada-Mu.
Antara syairnya yang masyhur berbunyi:
Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun,
Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun,
Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan peribadiku sekalipun,
Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun.

Rabiah telah membentuk satu cara yang luar biasa di dalam mencintai Allah. Dia menjadikan kecintaan pada Ilahi itu sebagai satu cara untuk membersihkan hati dan jiwa. Dia memulakan fahaman sufinya dengan menanamkan rasa takut kepada kemurkaan Allah seperti yang pernah diluahkannya:
Wahai Tuhanku! Apakah Engkau akan membakar dengan api hati yang mencintai-Mu dan lisan yang menyebut-Mu dan hamba yang takut kepada-Mu?
Kecintaan Rabiah kepada Allah berjaya melewati pengharapan untuk memperoleh surga Allah semata-mata.
Jika aku menyembah-Mu kerana takut daripada api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu kerana tamak kepada syurga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu kerana kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.
Begitulah keadaan kehidupan Rabiah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta kecintaan kepada-Nya. Rabiah meninggal dunia pada 135 Hijrah iaitu ketika usianya menjangkau 80 tahun. Moga-moga Allah meredainya, amin!
Sekarang mari kita tinjau diri sendiri. Adakah kita menyadari satu hakikat yang disebut oleh Allah di dalam Surah Ali Imran, ayat 142 berikut :
Apakah kamu mengira bahawa kamu akan masuk syurga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang yang sabar.
Bagaimana perasaan kita apabila insan yang kita kasihi menyinggung perasaan kita? Adakah kita terus berkecil hati dan meletakkan kesalahan kepada insan tersebut? Tidak terlintaskah untuk merasakan di dalam hati seumpama ini:
Ya Allah! Ampunilah aku. Sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya kasih-Mu yang abadi dan hanya hidup di sisi-Mu saja yang berkekalan. Selamatkanlah aku daripada tipu daya yang mengasyikkan.
Sesungguhnya apa juga lintasan hati dan luahan rasa yang tercetus dari kita bergantung kepada cara hati kita berhubungan dengan Allah. Semakin kita kenali keluhuran cinta kepada Allah, maka bertambah erat pergantungan hati kita kepada Allah serta melahirkan keyakinan cinta dan kasih yang sentiasa subur.
Lanjutan itu jiwa kita tidak mudah berasa kecewa dengan gelagat sesama insan yang pelbagai ragam. Keadaan begini sebenarnya terlebih dahulu perlu dipupuk dengan melihat serta merenungi alam yang terbentang luas ini sebagai anugerah besar daripada Allah untuk maslahat kehidupan manusia. Kemudian cobalah hitung betapa banyaknya nikmat Allah kepada kita.
Dengan itu kita akan sadar bahawa kita sebenarnya hanya bergantung kepada Allah. Bermula dari sini kita akan mampu membina perasaan cinta terhadap Allah yang kemudian mesti diperkukuhkan dengan mencintai titah perintah Allah. Mudah-mudahan nanti kita juga akan menjadi perindu cinta Allah yang kekal abadi.

Stratifikasi Sosial

Stratifikasi Sosial Pengertian Stratifikasi Sosial Kata Stratifikasi berasal dari bahasa latin, Stratum;  yang berarti tingkatan dan ...