Senin, 28 Januari 2013

Filsafat Islam Ibnu Sina

IBNU SINA 
  A. Biografinya 
 Ibnu Sina nama lengkapnya yaitu Abu Ali Husein ibn Abdillah Ibnu Sina, ‎atau disebut juga dengan Nama Syaikh Al-Rais Abu ‘Ali Al-husein bin Abdullah ‎ibn Sina, dan di Negara-negara Barat namanya lebih di kenal dengan sebutan Avi ‎Cena. Ia di lahirkan di Persia dan Arab mengklaim Ibnu Sina sebagai bangsanya. ‎Hal ini di karenakan ibunya berkebangsaan Turki, sedangkan ayahnya di duga ‎peranakan Arab, Persia atau Turki.‎ Ibnu Sina semasa kecilnya, adalah anak Ajaib. Pada umur 10 tahun ia ‎sudah membaca seluruh sastra tradisional dan hafal Al-Qur’an. Ia belajar ilmu ‎kedokteran, sampai pada umur 16 tahun namanya sebagai Tabib terharum, ‎sehingga dia di undang untuk mengobati Sultan Bukhara yaitu Nuh Ibn Mansyur ‎hingga pulih kembali. Dalam belajar Filsafat ia membaca Kitab “Metafisik” dari ‎Aristoteles 40 kali. Tetapi baru setelah membaca Tafsir Al-farabi baru ia ‎memahaminya. Lalu ia terjun dalam pelajaran filsafat pada umur 18 tahun ‎menguasai seluruh lapangan filsafat, beserta Astronomi, Hukum fiqh, Biologi, ‎Mistik, Matematika, Musik, ilmu Bahasa, dan Perhitungan Tarikh dsb. Kemudian ‎dia mulai mengarang, mengajar dan menyusun System. Disamping kerja ilmiah ‎ia juga sibuk dalam politik dan Urusan Negara.‎ Setelah orang tuanya meninggal, ia pindah ke Jurjani, suatu kota dekat ‎laut Kaspia, dan disanalah ia melai menulis Ensiklopedinya tentang Kedokteran ‎yang kemudian dikenal dengan Nama Al-Qanun fi Al-Thib. Selanjutnya ia pindah ‎ke Ray, suatu kota sebelah selatan Taheran dan bekerjau ratu Sayyadah dalam ‎anaknya, maj adalah;-Daulah. Kemudian Sultan Syam al-Daulah yang berkuasa ‎atas Hamdan (sebagaian barat Iran) mengangkat Ibnu Sina menjadi Mentrinya. ‎Terakhir ia pindah ke Isfahan dan meninggal di kota itu pada tahun 1037 M, ‎tepatnya pada hari jum’at bulan Ramadhan, dalam usia 58 tahun,dan ‎diimakamkan di Hamazan.‎ 
  B. Karya-karyanya 
 Karya Ibnu Sina meliputi berbagai cabang ilmu pengetahuan, Fisika, ‎Matematika, Logika, Metafisika, kedokteran, dan lain-lain, yang seluruhnya ‎berjumlah 267 buku. Di tulis dalam bahasa Arab atau Iran yang terjemahan ‎latinnya di temukan pada syilabus Universitas Eropa Madyakala.‎ 
  C. Filsafatnya 
 Dalam filsafatnya ia mempunyai faham Emanasi. Teori ini berasal dari ‎Neo-Platonisme yang pernah di Islam-kan oleh Al-Kindi dan kemudian di ‎kembangkan lagi oleh Al-Farabi, seterusnya kepada Ibnu Sina dengan ‎menyesuaikan kepada ilmu Kalam. Ia mengadakan synthesa Aristoteles yang ‎berpendapat bahwa alam dunia ini adalah azali dan tidak ada dalil akal yang dapat ‎membuktikan bahwa dunia kita ini ada permulaannya. Alam dunia dianggap ‎abadi, kekal (etenal) dan tidak akan binasa.‎ Sebaliknya menurut Islam dunia kita ini adalah Baharu (ada permulaan) ‎dan Fana, akan rusak dan binasa. Dalam Al-Qur’an tegas di katakan bahwa asal ‎mula kejadian alam ialah firman Allah kun fayakun. Bagaimana prosesnya dari ‎kun menjadi fayakun itu oleh Al-Qur’an tidaklah disebut secar detail. Dan umat ‎Islam umumnya tidak mau mempersoalkan bagaimana jalan peralihan antara ‎kun dan fayakun itu, karena pekerjaan ini terlalu besar bagi akal manusia.‎ Tetapi Ibnu Sina sebagai filosof dan ulama, tidak berfikir seperti itu, beliau ‎merasa bahwa banyak dari hasil-hasil filsafat yang sesuai dengan prinsip agama. ‎Meskipun dalam Al-Qur’an tidak disebut secara detail bagaimana proses kun dan ‎fayakun. Tetapi bukan pula berarti kita tidak boleh menyelidiki prosesnya itu ‎sejauh kesanggupan kita, malahan sebaliknya kita disuruh dan dianurkan ‎menyelidiki tanda-tanda kebasaran Tuhan dalam rahasia kejadian alam ini.‎ Selanjutnya Ibnu Sina menjelaskan bahwa wujud terbagi kepada tiga ‎bahagian yaitu Wajib al-Wujud, Mumkin al-wujud dan Mustahil al-wujud. ‎Falsafahnya tentang jiwa dan akal menurut al-Farabi. Ibnu Sina berpendapat ‎bahwa akal pertama mempunyai dua sifat yaitu wajib wujudnya sebagai ‎Pancaran dari Allah dan sifat mumkin wujudnya, jika dari hakekat dirinya, dengan ‎demikian, ia mempunyai tiga obyek pemikiran yaitu : Tuhan, diri-Nya sebagai ‎wajib al-wujud-Nya dalam diri-Nya sebagai mumkin wujud-Nya.‎ Teori tentang akal itu lebih lanjut membawa kepada munculnya filsafat ‎wahyu dan nabi. Misalnya ia mengatakan bahwa akal mempunyai empat ‎tingkatan:‎  Aql Bi’l-Quwwat, potensi mutlak, bersifat materil, pasif memuat dorongan ‎pertama untuk ingin mengetahui, tetapi tidak mampu mengetahui, hanya ‎menampung kesan panca indranya tanpa forma.‎  Aql bi’l-malaka, dimana diterima oleh akal fa’al azas-azas pertama sebagai ‎satu bahagian lebih kecil dari pada keseluruhan.‎  Aql bi’ Fi’l, akal yang beralih dari potensi ke aktifitas.‎  Aql Musafad, yaitu akal yang memiliki pengertian secara tetap. Dalam hal ‎ini martabat manusia berbeda-beda. Kebanyakan manusia untuk ‎mencapai akal itu untuk mengatur praktek hidup.‎ Ibnu Sina lebih dahulu mengajukan filsafat eksestensialis dari pada Filosof ‎modern seperti Nietzce, Kiekegard dan lain-lain.‎ Filsafatnya tentang manusia, Ibnu Sina menyatakan bahwa manusia terdiri ‎dari dari unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala kelengkapan yang ada ‎merupakan alat bagi jiwa untuk melakukan aktifitas. Jasad selalu berubah, ‎berganti, bertambah dan berkurang sehingga ia mengalami kefanaan setelah ‎berpisah dengan jiwa. Dengan demikian hakikat manusia adalah jiwanya, dan ‎perhatian filosof islam dalam membahas manusia lebih berpusat pada jiwanya.‎ Selanjutnya Ibnu Sina juga mempunyai filsafat ke Qadiman alam untuk itu ‎ia mencari dengan mengambarkan sebab, atau wakil. Dimulainya dengan sebab ‎ini, adalah karena mutakallimin berpendapat bahwa penciptaan-alam, adalah ‎sebagai akibat atau hasil dari Tuhan, yang bertindak sebagai pencipta. Dalam ‎memberikan dalil pendapat ini, digunakan perbagai istilah dalam bahasa Arab, ‎yang maksudnya sama dengan penciptaan, penghasilan, perbuatan, pekerjaan, ‎pembawaan kepada wujud dan lain-lain. Orang-orang kebiasaan, atau orang ‎banyak menduga bahwa benda datang dari pada tidak ada kepada ada, tidak itu ‎tidak ada.‎ Sebab adalah mendahului perbuatan dalam segala perobahan yang terjadi ‎dalam alam ini. Tuhan adalah sebab yang Efisien dari alam, tidak perlu di dahului ‎oleh waktu. Dengan perkataan lain, Ibnu Sina memandang, hubungan antara ‎sebab dan akibat dan betapakah sebab itu, datang pula dari sebab. Tuhan ‎sebagai sebab, bertindakan dalam alam yang bergerak terus menerus, dalam ‎wujudnya. Dengan demikian jelaslah bahwa alam telah ada sejak zaman Azali ‎karena ia terjadi dengan sebab Alah memikirkan Dzat-Nya sendiri.‎ Untuk memahamkan filsafat Ibnu Sina tentang ilmu jiwa harus kita rasakan ‎dalam pikiran, bahwa yang dikatakan sempurna, tidak sama dengan sempurna ‎yang dimaksudkan Aristoteles sebagai Actus Primus. Pokok kesukaran yang ‎terbesar dihadapi Ibnu Sina adalah dalam soal membedakan antara jiwa dan ‎akal. Meskipun jiwa itu dapat serupa dengan akal akan tetapi yang sebenarnya ‎akal itu adalah bahagian dari jiwa menurut Plotinus, jiwa itu adalah limpahan dari ‎akal. Kalau kita himpunkan segala pendapat Ibnu Sina, yang terdapat dalam ‎kitab-kitabnya, maka ternyata kepada kita bahwa akal itu adalah satu kekuatan ‎yang terdapat pada jiwa. Jiwa adalah lebih bersifat umum dari pada akal. Jiwa itu ‎baru dinamakan jiwa, jikalau ia bertindak dalam tubuh. Kalau ia bertindak ‎terpisah, maka jiwa itu lebih banyak merupakan akal.‎ Alam menurut Ibnu Sina yaitu bahwa Alam wujudnya QADIM yang ‎disebabkan oleh penyebab pertama. Filsafat yang menyatakan alam ini Qadim ‎diserang oleh Al-Ghazali, malah selanjutnya menyatakan bahwa Ibnu Sina kafir.‎ Menurut Syaikh Nadiam al-Jisr secara lahir Ibnu Sina memang ‎sependapat dengan Aristoteles dalam menyatakan bahwa alam ini Qadim, tetapi ‎pada hakekatnya ia tidak mengikuti Aristoteles. Ibnu Sina mentafsirkan tentang ‎Qadimnya Alam dengan suatu tafsiran yang indah sekali dan menunjukkan ‎pandangan yang jauh fikirannya yang sehat, dan Imannya yang benar.‎ 
Ibnu Sina membagi Pengertian Qadim kepada dua, yaitu:‎ ‎
1.‎ Qadim bil qiyas ‎ Qadim Relative (bila dibandingkan dengan yang lain) dimana masanya ‎sesuatu pada waktu yang lampau lebih banyak dari masanya sesuatu ‎yang lain. Jadi yang pertama lebih dahulu jika di bandingkan dengan yang ‎kedua.‎ ‎
2. Qadim Mutlak, terbagi atas dua bentuk :‎ 
   a.‎ Qadim dari segi zaman Sesuatu yang tidak mempunyai permulaan waktu 
  b.‎ Qadim dari segi zat/tingkatan/martabat Tidak tergantung pada yang lain, Yang Esa dan yang Haq (benar). ‎Sangat Maha Tinggi Tuhan dari apa yang dikatakan oleh orang-‎orang Dzalim.‎.... ... ... Sudahkah Anda Shalat..? Waktu Shalat Hari ini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stratifikasi Sosial

Stratifikasi Sosial Pengertian Stratifikasi Sosial Kata Stratifikasi berasal dari bahasa latin, Stratum;  yang berarti tingkatan dan ...