Filsafat Islam AL-GHAZALI
by: Ihsan CoLanK
A. Riwayat Al-Ghazali
Al-Ghazali
dilahirkan pada tahun 1059 M di Ghazal, Thus, Prppinsi Khurasan Republik Islam
Iran. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Ibn Ahmad
Al-Ghazali Al-Thussi. Sebutan Al-Ghazali di ambil dari kata-kata “Ghazalah”
yakni nama kampung kelahiran Al-Ghazali, dan kadang pula diucapkan dengan lafaz
Gazzalah yang berasal dari kata Ghazal yang artinya pemintal benang karena
orang tua Al-Ghazali adalah seorang pemintal benang wol.
Ayahnya
merupakan seorang sufi yang berketurunan Farsi yang shaleh, dan meninggal
ketika Al-Ghazali masih kecil. Guru pertama Al-Ghazali bernama Ahmad bin
Muhammad Al-Razakani Thusi.
Ia belajar
ke Jurjan dan Nisyapur. Dan di Nisyapur ini ia belajar dengan Imam Al-Juaini
(imam Haramaini). Kemudian pada usia 29 tahun ia bermukim di Muaskar (Asrama
Tentara) selama 5 tahun di Ba’dad, dan di Ba’dad ini pula 5 tahun berikutnya Al-Ghazali menjadi guru besar di
madrasah Nizhamiah Ba’dad, serta belajar filsafat dan menunjukkan keseriusannya
mempelajari filsafat sehingga ia menulis buku tentang maqasid falasifah sesuai
dengan pemahamannya dan menunjukkan kemampuannya mengkritik para filosof dengan
ketidak konsistenan para filosof.
Kemudian
Al-Ghazali juga pernah mengalami kegoncangan jiwa, konflik bathin, krisis
rohani, karena keragu-raguannya yang menyangsikan ma’rifah baik secara empiris
ataupun rasional. Ia menderita sakit selama 6 bulan, sehingga dokter kehabisan
daya untuk mengobatinya. Kemudian ia menanggalkan semua jabatan yang disandangnya,
dan mengembara ke Damaskus ia mengisolasi diri untuk beribadah, komplentasi dan
sufisti (melepaskan semua kegoncangan jiwanya dengan tasauf).
Al-Ghazali
digelari dengan Hujjatul Islam karena pembelaannya yang mengagumkan terhadap
agama Islam terutama terhadap serangan kaum bathiniah dari para filosof.
B. Hasil karyanya
Ø
Ihya’ Ulumuddin, berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan aqidah-aqidah
suluk.
Ø
Al-Iqtishad Fil-I’tiqad, diuraikan dalam bentuk aqidah Asy’ariah.
Ø
Maqasid Falasifah, berisikan ilmu mantiq, alam dan ketuana.
Ø
Tahafut Al-Falasifah, berisikan kritik terhadap filosof.
Ø
Al-Mungqis min Dhalal, ilmu-ilmu yang mewarnai di zamannya, yang
dipaparkan dalam bentuk kritik.
Ø
Mizan Al-Amal yang berisikan penjelasan tentang akhlak.
Dari
paparan diatas dapat diliat bahwa Al-Ghazali dalam hidupnya telah menempuh
berbagai jalan dan meneliti berbagai mazhab, yang mana ia juga berfungsi
sebagai seorang yang ahli hukum Islam, teolog, filosof, dan sufistik.
C. Kritikan Al-Ghazali Terhadap Para Filosof
Al-Ghazali
mempelajari filsafat selama dua tahun dengan cara auto debat (sendiri). Setelah
ia paham lalu ia menuangkan pemahamannya ke dalam sebuah buku yang ia beri
judul dengan maqasid falasifah (tujuan pemikiran para filososof). Dengan adanya
buku ini mengindikasikan bahwa Al-Ghazali padam dan menguasai filsafat ini
secara mendalam.
Sanggahannya
yang ia lontarkan terhadap para filosof dalam bukunya yang terkenal Tarahut
Al-Falasifah, kerancuanpemikiran para filosof (the incoherence of the
pilosoper). Khususnya filsafat mengenai ketuhanan (metafisika). Dalam buku
tahafut falasifah tersebut memandang para filosof sebagai filosof ahli bid’ah
dalam bidang ketuhana, dalam dua puluh masalah. Tiga dari dua pluh masalah itu
membuat filosof menjadi kafir, yaitu:
1.
Alam dan semua subtansi kadim
2.
Allah tidak mengetahui yang juz’iyah yang terjadi di alam
3.
Pembakitan jasmani tidak ada
Hal ini karena
bertentangan dengan ajaran Rasulullah, dan bertentangan dengan pendapat umat
Islam karena tak ada umat Islam yang berkeyakian seperti itu. Kongkritnya
uraian Al-Ghazali tentang hal itu adalah :
1.
Masalah keqadiman alam
Pandangan
filosof tentang keqadiman alam umumnya adalah wujud alam bersamaan dengan wujud
Tuhan, keterdahuluan Tuhan dari alam hanya dari zat tidak dari alam hanya dari
zat tidak dari segi zaman. Menurut Al-Ghazali, argument filosof tersebut tidak
tepat karena Alllah memiliki sifat iradah dan qudrah dalam menciptakan alam ini.
Qudrah dan iradah Tuhan ini saling berkaitan. Dan wujud Tuhan lebih dahulu dari
zaman dan alam. Zaman baharu dan sebelum zaman di ciptakan tidak ada zaman.
Oleh karena itu Allah dan alam tidak qadim keduanya, tapi Allah qadim dan alam
baharu baik dari segi zaman.
Dan
mengandaikan adanya zaman sebelum zaman hanyalah hayalan semata, yang
diasumsikan ada. Padahal realitasnya tidak ada sama sekali. (paham Al-Ghazali
inni di pengaruhi paham kekuasaan mutlak Tuhan).
2.
Allah tidak mengetahui juz’iah
Pendapat
para filosof Tuhan hanya mengetahui zatnya dan tidak juz’iah. Ibnu Sina
mengatakan Tuhan mengetahui segala sesuatu dengan ilmunya yang kulli. Alasanya
adalah : karena alam ini mengalami perobahan terus, maka jika tuan mengetahui perobahanya maka akan membawa
pengaruh pada perobahan zatnya .Perobahan pada objek ilmu akan mengalami
perobahan pada yang punya ilmu, (bertambah atau berkurang) dan itu mustahil
bagi Allah.
Bantahan Al-Ghazali
adalah:
Perubahan
pada objek ilmu tidak membawa perobahan kepada ilmu,karena ilmu itu
idhafah(suatu rangkaian hubungan dengaan zat). Jika ilmu berobah maka tidak
membawa perobahan pada zat. Ilustrasi adalah jika orang berdiri di sebelah
kanan kita llu pindah kedepan, belakang
dan kekiri maka yang berubah itu adalah
ia bukan anda. Begitupun dengan Allah
walau alam terus berobah, yang berubah itu adalah alam dan Allah semenjak azali
3.
kebangkitan jasmani di akhirat
Karena
menurut filosof jasad ini setelah manusia meninggal akan hancur dan yang akan
mengalami dan merasakan kelezatan itu hanya rohani saja. Adapun cerita syara’
yang berupa jasmani dan rohani hanyalah gambaran (alegori) untuk orang yang
awam agar mudah memahami ayat Al-Qur’an.
Bantahan
Al-Ghazali:
Dalam
ayat-ayat Al-Qur’an telah tegas di bacakan bahwa pada berbangkit tersebut yang
di bangkitkan Tuhan adalah jasad dan ruh secara bersamaan. Sesuai dengan firman
Allah yang telah menjelaskan bahwa mengumpulkan tulang-belulang dan
mengembalikan tubu manusia yang sudah hancur lebih mudah oleh Allah dari pada
menciptakannya pertama kali.
Secara umum
bertentangan paham Al-Ghazali ini dengan para filosof hanya pada titik pijak. Al-Ghazali
sebagai filosof yang berpaham asy’ari aktif mengembangkan asy’arisme yang
diwarnai oleh kehendak mutlak Tuhan. Dan titik pijak para filosof pada rasional
yang lebih liberal dari Al-Ghazali. Karena keduanya sependapat bahwa di akhirat
itu ada hari berbangkit.
Dan dalam
buku Mungqis min Al-Dhalal, Al-Ghazali mengelompokkan filosof pada tiga
kelompok:
Ø
Filosof materialis (dahriyun), mereka yang menyangkal adanya Tuhan dan
kosmos ini menurut mereka ada dengan sendirinya.
Ø
Filosof naturalis (thabi’iyunn), mereka yang mengadakan penelitian di
alam ini dalam berbagai hal.
Ø
Filosof ketuhanan (Illahiyun), mereka adalah filosof yunani, seperti
Socrates, plato dan Aristoteles, tapi mereka pun tak bisa terlepas dari
pengaruuh kekafiran filsafat sebelumnya, yaitu filsafat naturalis dan
materialis. Termasuk Al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarkan ajaran ini di
kalangan umat Islam.
Oleh
karenanya filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina ada tiga tiga kategori:
Ø
Filsafat yang bisa di terima
Ø
Ailsafat yang di pandang bid’ah
Ø
Filsafatnya yang harus di pandang kafir
4.
Hukum sebab akibat dan mu’jizat
Dalam
buku tahafut falasifahnya kita bisa jumpai hukum sebab akibat dan mu’jizat
diartikan sebagai hal yang menyimpang dari kebiasaan ( khariq al-Adat ).
Sebernarnya
alqhazali tidak mengingkari hubungan antara sebab dengan akibat, tetapi
menurutnya hubungan keduanya tidak bersifat dharuri. Masing- masingnya
mempunyai indifidualitas tersendiri. Contoh : antara makan dengan kenyang tidak
terdapat hubungan dharuri, sebab makan tidak mesti menyebabkan orang kenyang.
Begitupun dengan yang lainnaya kertas tidak mesti terbakar oleh api, dan air
tidak mesti membasahi karena semua itu hanyalah adapt kebiasaan dan bukan
kemastian.
Oleh sebab itu mu’jizat yang
dimiliki oleh setiap para nabi, seperti api yang tidak membakar nabi Ibrahim,
alqhazali tidak terdapat dengan pendapat filosof yang menganggap hilangnya
sifat membakar pada api atau ibrahim beruba menjadi suatu zat yang tidak
terbakar oleh api.
Menurut Al-Ghazali api tidak
membakar tubuh nabi Ibrahim kerena api memang bukan pembuat terbakar. Karna
yang membuat terbakar itu adalah Allah SWT dengan qudrah dan satu radahnya.
Karena jika Allah menghendaki Allah bisa merobah kambing seekor harimau.
Bagitupun dengan kasus-kasus mu’jizat para nabi yang lain, seperti isya, yang
menghidupkan orang mati, musa yang berobahnya tongkatnya menjadi ular dan
lain-lainnya.
Pada intinya mereka mempunyai
kenyakinan yang sama terhadap mu’jizat ( kharikul adat ) pada nabi ini, namun
perbedaannya tersebut hanyalah pada kaitan peristiwa tersebut, menurut
alghazali semuanya tidak terlepas dari gudrah dan iradah tuhan sedangkan
menurut filosof masih ad hubungannya dengan hubungan sebab akibat (hukum alam
“natural low”).
5.
Perkembangan filsafat di timur Al-Ghazali.
Perkembangan
filsafat di dunia timur paska Al-Ghazali mengalami kemunduran, apalagi dengan
label kafir yang direkatkan alghazali terhadp filosof dalam tiga masalah diatas
sehingga banyak para ulama mengeluarkan fatwa-fatwa keras terhadap filsafat
seperti yang dilakukan oleh Ibnu Shaleh. Dan banyak juga buku-buku filsafat
setelahnya mengambing hitamkan alghazali penyebab kemunduran umat ini.
Dr.
Syafi’i Ma’arif berpendapat bahwa mengambing hitamkan alghazali bagi kemerotan
filsafat adalah tindakan yang bodoh dan tidak cerdas serta menzholimi Al-Ghazali.
Menurut Dr. Harun Nasution, kemunduran filsafat didunia islam sunni adalah
karena ajaran tasa’uf sedang berkembang yang mana mereka lebih mengutamakan
daya rasa yang berpusat dikalbu dan meninggalkan logika. Dan filsafat di dunia
syi’ah masih tetap berjalan karena teologinya mu’tazilah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar