Kekerasan
Dalam Dunia Pendidikan Civitas akademika sebuah perguruan tinggi,
dalam kategori tertentu, dapat dipandang sebagai sebuah sub-kultur dengan
“tradisi” dan pola “interaksi sosial” antar civitas akademika yang memiliki
karakteristik yang khas. Selain kekhasannya sebagai sebuah “masyarakat”
akademis, ia pun memiliki kompleksitasnya seperti halnya masyarakat pada
umumnya, walau dengan kompleksitas yang khas pula. Secara sosiologis, selain
didasarkan atas paradigma akademis, relasi sosial masyarakat akademis dalam
sebuah Perguruan Tinggi juga didasarkan pada relasi yang dibangun di atas
kesadaran kelas sosial tertentu. Kelas sosial yang dibangun di atas
prinsip-prinsip otoritas akademis dan struktur birokrasi. Prinsip-prinsip yang
juga mengisyaratkan adanya “kelas sosial-ekonomi” yang tentunya berbeda. Strata
sosio-ekonomi yang tidak jarang menjadi sumber konflik yang dapat melahirkan
sejumlah “aksi kekerasan” baik nyata maupun terselubung.
Keberadaan konflik dan “aksi kekerasan” pada tataran birokrasi kampus memang
juga merupakan hal yang sangat menarik untuk dibicarakan, akan tetapi itu bukan
yang akan menjadi objek pembicaraan dalam tulisan ini. Hal lain yang menurut
penulis menarik untuk diperbincangkan adalah ragam relasi yang terjadi antara
dosen dengan mahasiswa, dan sebaliknya, serta problematika yang ditimbulkannya.
Secara formal, relasi dosen-mahasiswa dibangun di atas suatu mekanisme tertentu
dalam proses belajar-mengajar. Mekanisme yang secara formal pula diatur dalam
sistem dan etika akademik yang tertanam (sebagai sebuah tradisi akademik) dan
digariskan dalam sejumlah aturan main dalam sebuah perguruan tinggi. Namun
demikian, sebagai “manusia” dosen dan mahasiswa adalah satu hal dan etika serta
aturan main perguruan tinggi adalah hal lain. Logika ini memang tampak aneh,
karena secara formal dan ideal, seseorang disebut sebagai dosen atau mahasiswa,
sejauh ia memegang teguh prinsip-prinsip akademis, baik etika maupun aturan
mainnya. Itu format idealnya, dalam fakta konkritnya tidak jarang ditemukan
“dinamika” dimana dosen dan mahasiswa memijakkan kakinya pada rel yang berbeda.
Kaki kanan di atas rel formal-ideal sebagai insan akademis, dan kaki kirinya
berpijak di atas rel yang lain, rel yang tidak mustahil bersebrangan dengan
norma formal dan idel sebagai insan akademis.
Cerita tentang relasi antar mahasiswa yang dipisahkan diantara mereka oleh sekat
senioritas yang melahirkan aksi eksploitasi dan tindak kekerasan, bukan berita
baru di negeri ini, baik dalam orientasi pengenalan kampus (ospek) bagi
mahasiswa baru. Fenomena tersebut telah cukup banyak diungkap secara terbuka di
media masa, bahkan kemudian mengundang keterlibatan fihak penegak hukum. Akan
tetapi aksi “kekerasan” dalam bentuk “pemerasan” atau lebih sopannya
eksploitasi dosen atas mahasiswa baik terbuka maupun terselubung masih menjadi
misteri yang belum banyak dipersoalkan. Padahal, fenomena tersebut baik diakui
keberadaannya atau pun tidak, tentunya akan mengganggu bahkan merusak mekanisme
proses belajar mengajar, dan lebih dari itu akan melahirkan generasi yang
menganggap aksi “kekerasan” dalam bentuk pemerasan dan penindasan sebagai prilaku
yang “sah” dan dianggap wajar.
Wujud kongkrit dari tindak kekerasan yang dilakukan para dosen di sebuah
perguruan tinggi yang sangat dikenal dikalangan mahasiswa antara lain:
pemerasan pada mahasiswa dengan cara “mewajibkan” untuk membeli diktat atau
buku yang ditulis oleh dosen tersebut yang berimplikasi pada besar kecilnya
nilai matakuliah matakuliah, atau bahkan lulus dan tidaknya. Fenomena ini
merupakan fenomena paling klasik yang dikenal di dunia perguruan tinggi.
Sehingga, muncul istilah dosen “diktator” (jual diktat untuk membeli motor?).
Berbeda dengan istilah dosen killer, karena biasanya istilah tersebut (dosen
killer) diucapkan oleh mahasiswa dalam kesan mendua, selain kesan negatif di
sisi lain tersirat kesan yang lebih positif berupa kekaguman atau lebih
tepatnya sikap hormat atas sikap tegas dari sang dosen. Lain halnya dengan
kesan terhadap dosen “diktator”. Selain bentuk “kekerasan” tersebut, terdapat
bentuk kekerasan lain dalam bentuk “transaksi” nilai matakuliah. Yaitu, nilai
matakuliah yang diberikan dosen kepada mahasiswanya didasarkan pada harga
nominal tertentu.
Kekerasan dalam bentuk mewajibkan mahasiswa untuk membeli buku atau diktat,
dalam perspektif tertentu mungkin masih dipandang positif bagi mahasiswa, akan
tetapi bentuk kekerasan jual-beli nilai matakuliah dengan alasan apa pun bisa
dianggap mengotori dunia pendidikan. Terlepas apakah kekerasan itu secara
langsung dilakukan dosen atau karena mahasiswanya sendiri yang menawarkan diri
untuk menyelesaikan masalahnya melalui proses jual beli nilai matakuliah
tersebut. Tawaran yang bisa membuat mata sang dosen berwarna hijau berkilat.
Terdapat paling tidak dua kemungkinan penyebab terjadinya aksi kekerasan dalam
bentuk pemerasan yang dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswanya, pertama
disebabkan rendahnya kesejahteraan (kemiskinan terselubung) dan kedua persolan
moralitas. Kedua hal tersebut bisa berdiri sendiri atau bersamaan. Perlu
penelitian intensif untuk melihat apakah rendahnya moralitas dosen juga
disebabkan oleh rendahnya kesejahteraan dosen, atau karena faktor lain di luar
persoalan yang berhubungan dengan dunia akademik.
Kekerasan bisa dilakukan oleh siapa pun dengan sebab yang sangat beragam. Konon
menurut para ahli, salah satu sebab paling umum lahirnya kekerasan adalah
kemiskinan. Dosen memang bukan malaikat dengan seambreg identitas kesucian,
dosen hanyalah manusia biasa dengan sejumlah kelebihan dan kekurangannya,
seperti halnya manusia lainnya. Ia hanya berbeda dari manusia lain karena ia
memliki “otoritas” formal untuk menjadi pendidik. Seseorang yang diposisikan
oleh masyarakat dalam posisi sebagai sosok dengan sejulah identitas serta
kemestian-kemestian yang memaksa dosen, seperti halnya para pendidik lainnya,
untuk menjadi manusia sempurna tanpa cacat dan menjadi tauladan bagi anak
didiknya seta masyarakat sekitarnya.
Sebagai seorang manusia biasa, kebutuhan pemenuhan kehidupan seorang dosen
bukan hanya berhubungan dengan persoalan akademik, ia juga dihimpit oleh
kebutuhan lain, katakanlah kebutuhan-kebutuhan keseharian keluarga di rumahnya.
Bahkan, tidak jarang untuk sekedar memenuhi kebutuhan untuk melengkapi
leteratur dan memperluas wawasan serta pengetahuannya sebagai bekal dalam
proses belajar-mengajar sangat sulit untuk bisa terpenuhi. Bila telah demikian,
sangat mudah bagi setan-setan bergentayangan mengelilingi tubuh sang dosen dan
menutup jarak pandangnya, hingga ia kehilangan akal sehatnya. Dan kalau pun ia
memiliki sejumlah kegiatan di luar kampusnya demi untuk memenuhi kebutuhan
kehidupannya, itu pun bukan tanpa resiko. Perhatian sang dosen terhadap
persoaln-persoalan yang dihadapi oleh mahasiswanya lebih banyak terbaikan.
Kesulitan yang dihadapi oleh sang dosen ini sangat jarang ada yang
memperhatikan dan memperdulikannya. Bahkan, masyarakat pun hanya peduli
terhadap diri dan anak-anaknya, nasib apa pun yang menimpa para pendidik
termasuk dalamnya para dosen. Mereka lebih memperhatikan masa depan pendidikan
anak-anaknya. Para pendidik, khususnya mereka yang diangkat sebagai pegawai
negeri, lebih dilihat sebagai manusia-manusia yang hanya memiliki satu
kewajiban yaitu mengabdi. Manusia yang seolah-olah telah dicabut haknya untuk
memperhatikan kesejahteraannya diri dan keluarganya. Sebagai “Umar Bakri”
(istilah Iwan Fals) hanya pantas mengendari sepeda butut, tidak layak bagi
mereka mengendari kendaraan keluaran terbaru. Secara sosial para pendidik,
khususnya para dosen, memang memiliki kedudukan terhormat dalam masyarakat,
terutama dalam masyarakat pedesaan, akan tetapi dalam tarap kehidupan
sosial-ekonominya kedudukan mereka tidak cukup layak untuk diperhitungkan,
apalagi bila dibandingkan dengan tudas dan beban tanggung jawabnya dalam
mempersiapkan generasi penerus bangsa. Terhadap para Umar Bakri ini, masyarakat
pada umumnya hanya bisa berkata: kalau tidak mau sengsara kenapa mau jadi abdi
negara?
Namun demikian, terlepas dari bagaimana nasib dan tarap kehidupan ekonomi
(kesejahteraan) mereka, fenomena kekerasan di dunia pendidikan, dalam jenjang
pendidikan apa pun, merupakan persoalan yang tidak bisa dianggap remeh. Perlu
mendapat perhatian dari para ahli pendidikan, dari pemerintah dan juga dari
masyarakat. Karena, kini bentuk-bentuk kekerasan di dunia pendidikan semakin
melebar. Konon, menyebar pula “isu” bahwa bentuk pemerasan di dunia pendidikan telah
pula mengarah pada hal yang berbau seks. Wallu’alam.
Penulis
Ahmad Gibson Al-Bustomi
Dosen Filsafat & Telogi di Jurusan Aqidah Filsafat UIN Sunan Gunung Djati
Bandung
Kepala Pusat Informasi dan Komputer UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Stratifikasi Sosial
Stratifikasi Sosial Pengertian Stratifikasi Sosial Kata Stratifikasi berasal dari bahasa latin, Stratum; yang berarti tingkatan dan ...
-
Perencanaan Pengajaran BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan Satu mata kuliah juga merupakan bagian dari kurikulum suatu lembag...
-
PEMIKIRAN SYED NAQUIB AL ATTAS DAN AL-FARUQI TENTANG PENDIDIKAN ISLAM 1. Pemikiran Syed Naquid Al-Attas a. Riway...
-
PEndidikan anak usia dini (PAUD) akan memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya, yang paling dekat adalah menghadapi ma...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar